Saturday 30 October 2010

Ustad Yusuf Mansur : The Miracle Of Giving

Yusuf Mansur menulis buku ini dengan rasa cinta
* agar pembaca percaya bahwa ada kekuatan lain di kehidupan kita, yakni kekuatan Allah.
* Agar pembaca tidak usah kelelahan mencari dunia yang sejatinya sudah Allah berikan...
* Agar pembaca tidak putus asa dalam mencari rezeki yang sesungguhnya mudah...
* Agar pembaca tahu betapa mudahnya menundukkan dunia...
* Agar pembaca lebih ikhlas, lebih riang, lebih lepas dalam beribadah.
* Agar pembaca tahu bahwa mencari kekayaan dan menjadi kaya itu mudah, tidak perlu susah.

Buku ini mengupas filosofi dan segudang teori di balik RAHASIA SEDEKAH. Anda akan tercengang dengan pembahasan-pembahasan yang sangat ilmiah, metodologis tentang sedekah, tapi tetap dengan bahasa yang ringan, renyah, mudah dan menyenangkan untuk dibaca dan dipahami.

Keajaiban apa yang sedang Anda butuhkan? Buku ini insya Allah bisa menghantarkan Anda ketemu cara mendapatkannya; menjadi kaya, memiliki pekerjaan dengan gaji dan karir yang mengangumkan, melesatkan hasil usaha, hingga ke urusan-urusan menjauhi penyakit, utang, anak keturunan, jodoh, dan kematian yang husnul khatimah.


Jika Anda ingin memiliki buku ini hubungi Bayu : 085714381114

8 Langkah Ajaib Menuju Langit – Rahasia Dahsyat Meraih Impian

Buku 8 Langkah Ajaib Menuju Langit ini berisi 8 langkah panduan praktis yang dapat menuntun kita menuju ‘langit kesuksesan’, di mana kita dapat menggapai impian kita yang sudah digantung setinggi langit, dan menciptakan “surga kecil” dalam kehidupan di dunia saat ini.. Victor Asih, penulis buku ini mencoba untuk membagikan beberapa tip menarik untuk mengatasi berbagai keterpurukan yang membuat banyak orang kehilangan semangat hidup dan pesimis memandang masa depannya.Buku ini memberi inspirasi, motivasi, dan mengajarkan langkah-langkah praktis untuk mewujudkan impian dengan mengambil pengalaman dari kisah-kisah nyata yang dialami penulis dalam kehidupannya. Buku 8 Langkah Ajaib ini unik dengan angka serba ‘8’ dijual dengan harga unik Rp. 38.888,- Buku dengan backcover 8 endorser dari berbagai kalangan profesi ini terdiri dari 8 bab dan 188 halaman isi dan dicetak limited edition 8.888 exemplar oleh Penerbit Andi.

Ustad Yusuf Mansur dan Security POM Bensin


Ini ada cerita ringan, dialog antara Ust. Yusuf Mansur dengan Security POM Bensin

Â

SEMOGA BERMANFAAT

Â

Â

Banyak yang mau berubah,

tapi memilih jalan mundur.

Andakah orangnya?

Â

Satu hari saya jalan melintas di satu daerah. Tetidur di dalam mobil.

Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya:

Â

"Nanti di depan ke kiri ya".

"Masih banyak, Pak Ustadz".

Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan.

Saya pengen pipis.

Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti.

"PakUstadz!" .

Dari jauh ia melambai dan mendekati saya.

Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.

"Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya

melihat di TV saja...". Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he

he he. "Saya ke toilet dulu ya".

"Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?"

"Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?"

"Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz".

Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang "berhentiin" saya.

Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom

bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu

bicara dengan dia. Sekuriti ini barangkali "target operasi" dakwah hari ini.

Bukan jadwal setelah ini. Begitu pikir saya.

Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini, "Ok, ntar habis dari toilet ya".

***

"Jadi, pegimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?", tanya saya membuka

percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini.

Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya yang dilengkapi

fasilitas ngopi-ngopi ringan.

"Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?"

"Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu.

Distel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya" .

"Wah, ustadz langsung nembak aja nih".

Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang salah.

Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah

ga

mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu saja.

"Udah shalat ashar?"

"Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga?

Ya saya pikir sama saja".

"Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah juga ibadah?"

Sekuriti itu senyum aja.

Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, sekuriti itu bisa

benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas

omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang

kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah.

Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap

nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah

tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai

ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita

menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu

shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka

yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi

kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit

ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh

sebutan-sebutan ibadah.

"Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5

nih masuk ke pom bensin ini", saya mengejar.

"Ya, kurang lebih dah".

Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang

Â

'alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut

perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu.

Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita

bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama

saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan

sekuriti yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang

berkenan

mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.

"Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar

ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam

andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari

Â

semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh,

sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan

kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan

sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu

baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih

bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja

mestinya kita dari senang".

Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih

begitu.

Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya,

nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He

he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga

sama lawan bicara?

Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang selama ini telat shalatnya,

maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih seperti diam di

Â

tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang buka usaha,

sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya, bisa

jadi sebab ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak.

Dan saya mengingatkan kepada peserta KuliahOnline untuk tidak menggunakan

mata telanjang untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung

jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu yang

Â

rajin shalat dan banyak kebaikannya, lalu hidupnya susah. Jawaban terhadap

pertanyaan-pertanya an seperti ini cukup kompleks. Tapi bisa diurai satu satu

dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat

dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan yang demikian.

Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, "Terus, mau berubah?"

"Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga serius?"

"Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya".

"Ngebut gimana?"

"Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya.

Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah.

Â

Jangan sampe keduluan Allah".

Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby di

atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang

Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini. Kan aneh.

Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah

memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang

bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih,

wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit

Â

pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan

fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.

"Yang kedua," saya teruskan. "Yang kedua, keluarin sedekahnya".

Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa. "Pak Ustadz,  pegimana mau sedekah,

hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa

dibuka lagi,. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan".

"Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?"

"Satu koma tujuh, Pak ustadz".

"Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang

sering sebut orang kecil, itu udah gede".

"Yah, pan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini

bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz".

"Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?"

"Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama

kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz".

"Koq bisa?"

"Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe

ketemu angka 1,7jt".

"Terus, kenapa masih kurang?"

"Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak".

"Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente

kredit motor? Kan ga perlu?"

"Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz".

"Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan

ilmu

dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot".

Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu.

Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia nutupin

kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik.

Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.

"Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?"

"Mau Ustadz. Saya benahin dah".

"Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan

berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin. Ikutan semuanya

ngebenahin shalat".

"Siap ustadz".

"Tapi sedekahnya tetap kudu loh".

"Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada".

"Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa keq".

"Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya.

Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya".

Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan

cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi

sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya

menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain

soal itu mah.

Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, "Kang, kalo saya unjukin

bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?".

Si sekuriti mengangguk. "Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?" .

Sekuriti ini ngangguk lagi. "Selama saya bisa, saya akan jalanin,"

katanya, manteb.

"Gajian bulan depan masih ada ga?"

"Masih. Kan belum bisa diambil?"

"Bisa. Dicoba dulu".

"Entar bulan depan saya hidup pegimana?"

"Yakin ga sama Allah?"

"Yakin".

"Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau".

Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi

usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga

perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya.

Trmasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha

dan tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca al

Qur'an.

Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat Jum'at

aja nunggu komat, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin.

Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi

sekuriti sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi!

Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan

Â

posisinya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana.

Tapi ya begitu dah hidup. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang penting kerja

dan ada gajinya.

Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu

Â

keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa

juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita

barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja

harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah

ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan

dengan tingginya harga,. Ga kebagian.

***

Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat

apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol.

Satu koma tujuh. Semuanya.

"Mana bisa?" kata komandannya.

"Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani".

Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini

jawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya.

Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama

Â

ownernya ini pom bensin. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan

30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui.

Â

Sebab komandannya ini ikutan merayu, "Buat sedekah katanya Pak", begitu

kata komandannya.

Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita

si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya

dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti

oleh bos nya.

"Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya", begitu lah

pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin berubah bersama

Allah melalui jalan shalat dan sedekah.

Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul

shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya.

Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi barokah

dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi

kenyataannya si sekuriti ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya. Malah tambah cerah mukanya.

Sekuriti ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan

dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan

kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal

dengan catatan dia berhasil dulu.

Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa,

saya demen ama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal

Â

diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si

sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang

belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah

Â

pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan

mempermalukan si sekuriti.

Suatu hari bos nya pernah berkata, "Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga kasbon

saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia

gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang diambil di muka,

kalau kemudian kas bon. Percuma".

Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon.

Berhasil kah?

Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi,

tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual motor.

Bukan dari keajaiban mendekati Allah.

Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan

yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.

"Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian.

Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren".

Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo

Â

ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si

sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada.

Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia benahin shalatnya, dan dia

sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya

di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada

transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara

fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya,

dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia

sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di

kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan

kemaren juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemaren, belum berganti

bulan.

Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya dia malu

sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya

melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin

satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor,

Â

kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi

dia tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya

punya 25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri.

Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta

lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini,

ia aman.  Ga perlu kasbon.

Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan

Â

menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya

selama 1 bulan setengah ini.

Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si sekuriti?

Engga. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut

Â

sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner

yang lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah,

masya Allah. Berubah, berubah, berubah.

Saudara-saudaraku sekalian. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang

Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman

seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja

menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan!

Â

Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru

sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama

dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya,

buat perubahan hidupnya.

Subhaanallaah, masya Allah.

Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar

sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya

kawan-kawan sepom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak

suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai

sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia.

Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar.

Pertanyaan ini juga layak juga diajukan kepada Peserta KuliahOnline yang

Â

saat ini mengikuti esai ini? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa sajakah?

Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana pom bensinnya?

Bisa kah kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja. Sebab kenyataannya

juga buat saya tidak gampang menghadirkan testimoni aslinya. Semua orang

Â

punya prinsip hidup yang berbeda. Di antara semua peserta KuliahOnline saja

ada yang insya Allah saya yakin mengalami keajaiban-keajaiban dalam hidup

ini. Sebagiannya memilih diam saja, dan sebagiannya lagi memilih

menceritakan ini kepada satu dua orang saja, dan hanya orang-orang tertentu

saja yang memilih untuk benar-benar terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan

apa-apa, ketika sudah dipublish, memang tidak gampang buat seseorang

menempatkan dirinya untuk menjadi contoh.

Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini

mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja

kisah ini.

Kita ngebut sengebut2nya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak,

sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah

dengan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal

saleh. Persis seeperti yang kemaren-kemaren juga dijadikan statement esai penutup.

Kepada Allah semua kebenaran dan niat dikembalikan. Salam saya buat keluarga

dan kawan-kawan di sekeliling saudara semua. Saya merapihkan tulisan ini di

halaman parkir rumah sakit Harapan Kita. Masih di dalam mobil. Sambil

menunggu dunia terang. Insya Allah hari ini bayi saya, Muhammad Yusuf al

Â

Haafidz akan pulang ke rumah untuk yang pertama kalinya. Terima kasih banyak

atas doa-doanya dan perhatiannya. Mudah-mudahan allah membalas amal baik saudara semua.

Dari semalam saya tulis esai ini. Tapi rampungnya sedikit sedikit. Ini juga

tadinya bukan esai sekuriti ini yang mau saya jadikan tulisan. Tapi ya Allah

jugalah yang menggerakkan tangan ini menulis.

Semalam, file yang dibuka adalah tentang langkah konkrit untuk berubah.

Lalu

saya lampirkan kalimat pendahuluan. Siapa sangka, kalimat pendahuluan ini

saja sudah 10 halaman, hampipr 11 halaman. Saya pikir, esai ini saja sudah

kepanjangan. Jadi, ya sampe ketemu dah di esai berikutnya. Saya berhutang

banyak kepada saudara semua. Di antaranya, saya jadi ikut belajar.

Semalam saya ikutan tarawih di pesantren Daarul Qur'an internasional.

Sebuah

pesantren yang dikemas secara modern dan internasional. Tapi tarawihnya

dijejek 1 juz sekali tarawih. Masya Allah, semua yang terlibat, terlihat

Â

menikmati. Ga makmumnya, ga imam-imamnya, ga para tamu dan wali santri yang

ikut. Semua menikmati. Jika ada di antara peserta KuliahOnline yang pengen

ikutan tarawih 1 juz ini, silahkan datang saja langsung ya. Insya Allah

saya usahakan ada. Sebab saya juga kebagian menjadi salah satu imam jaganya.

Ya,kondisi-kondisi begini yang saya demen. Saya kurangin jadwal, tapi masih

Â

tetep bisa ngajar lewat KuliahOnline ini. Dan saya masih sempet mengkader

ustadz-ustadz muda untuk diperjalankan ke seantero negeri. Sementara saya

akhirnya bisa mendampingi para santri dan guru-guru memimpin dan

mengembangkan pesantren Daarul Qur'an ini.

Ok, kelihatannya matahari sudah mulai kelihatan. Saya baru pulang juga

langsung dari TPI. Siaran langsung jam 5 ba'da shubuh tadi. Istri saya

meluncurnya dari rumah. Doakan keluarga kami ya. Saya juga tiada henti

mendoakan saudara dan jamaah semua 

Friday 29 October 2010

Bunga citra lestari and fiends






Pudarnya pesona cleopatra

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah
dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib
ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.


Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya
dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya.Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante
Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata
tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan
datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah
dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang . Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah.. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.
“wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk,
tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah.
Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari
terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku
pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih.. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah
empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan
perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dielukelukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan?Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.
Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu?
Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku
sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah
baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga,
disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingg Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Man tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.

Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntahmuntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan . Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan ? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “ Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia .

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, samasama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah,
menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan , saya minta agar
asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang
cukup mewah di kota Medan . Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi
semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak
kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk
berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali namun Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengen rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia .

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada
sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka
menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia , aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena
tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa
sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya
untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia
tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke
kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku.. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbii ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.

Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda
dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya
Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup
hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap
menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.
” Raihana…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi.. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .
Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..



oleh : Habiburrahman El Shirazy

TRIO MACAN VERSI LAIN